Sepekan ‘Terdampar’ di Natuna


Jakarta, Indonesia —

Laut biru, bebatuan di tepi pantai, dan pasir putih terhampar sejauh mata memandang. Dataran tinggi menjulang yang dikenal Gunung Ranai melengkapi pemandangan tersebut.

Lanskap ini saya lihat dari balik jendela pesawat yang hendak mendarat di Bandara Raden Sadjad, Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, pertengahan Oktober lalu.

Natuna merupakan salah satu daerah kepulauan di Indonesia. Letaknya berada di ujung perbatasan, di utara perairan antara Sumatera dengan Kalimantan.

Untuk melancong ke Natuna, wisatawan yang bertolak dari Jakarta bisa menggunakan pesawat ataupun kapal laut. Namun, belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Natuna.

Wisatawan harus transit terlebih dahulu ke Batam, berganti pesawat jenis ATR dan melanjutkan penerbangan ke Natuna. Total waktu perjalanan dari Ibu Kota sampai ke wilayah perbatasan itu sekitar 3,5 jam.

Pesawat yang tersedia dari Batam terbatas, hanya dua maskapai dengan penerbangan satu sampai dua kali sehari. Bagi kalian yang hendak ke sana harus terlebih dahulu mengecek jadwal penerbangan di aplikasi akomodasi langganan.

Namun, jika kalian ingin menikmati perjalanan laut bisa mencobanya. Kapal yang melayani rute Jakarta-Natuna adalah KM Bukit Raya. Kapal tersebut berangkat dari Tanjung Priok. Waktu perjalanan sekitar 4 hari.

Pesawat yang membawa saya tiba sekitar pukul 10.00 WIB di Bandara Ranai, Natuna. Bandara ini berada di kawasan Pangkalan Udara Raden Sadjad.

Perjalanan selama pandemi Covid-19 wajib memenuhi sejumlah persyaratan, seperti sudah divaksin minimal dosis satu, bukti negatif tes PCR atau antigen. Kemudian mengisi electronic Health Alert Card (e-HAC).




Pesawat komersial Wings Air asal Batam tiba di Bandara Raden Sadjad, Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (17/11/2020). Selama masa pandemi COVID-19 hanya ada dua maskapai penerbangan yang melayani penumpang di bandara tersebut, antara lain Wings Air dengan jadwal sekali dalam sehari pada Senin hingga Sabtu dan Sriwijaya Air sekali dalam seminggu setiap Senin, dengan rute dari dan ke Bandara Hang Nadim Batam, Kepri. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.Bandara Raden Sadjad, Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.)

Terik matahari langsung terasa begitu keluar dari pesawat. Penumpang harus berjalan kaki menuju ke terminal kedatangan. Begitu keluar pintu kedatangan, para sopir langsung menghampiri. Bertanya tujuan kita dan menawarkan jasa antar-jemput.

Saat itu, saya sudah memesan mobil dari rental Song sejak masih di Jakarta. Di Natuna tak ada angkutan umum. Jadi kalian harus menyewa mobil atau motor. Tak perlu bingung banyak pilihan rental dengan harga bervariasi.

Rata-rata sewa mobil satu hari, sekaligus sopir sekitar Rp500 ribu. Jika tanpa sopir, harga sewa bisa di bawah itu. Sementara sewa motor harganya mulai kisaran Rp100 ribu.

Dari bandara saya langsung menuju penginapan di Jalan Datuk Kaya Wan Moh. Benteng, Ranai Kota, Bunguran Timur. Jarak dari bandara sekitar 20 menit.

Penginapan juga sudah cukup banyak. Dari data BPS Kabupaten Natuna 2021, setidaknya ada 38 hotel/homestay. Namun, hanya beberapa hotel yang bisa dipesan lewat aplikasi akomodasi. Sisanya harus pesan secara langsung.

Hotel saya berdiri tepat di tepi jalan utama. Terdiri dari dua lantai. Lantai bawah hanya resepsionis dan restoran. Semua kamar berada di lantai dua. Meski bangunan terkesan jadul, fasilitasnya cukup lengkap. Kamar ber-AC dan terdapat air panas.

Sejenak saya meregangkan tubuh setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Sementara sopir rental saya minta untuk pulang terlebih dahulu dan kembali ke hotel selepas salat Isya.

Nongkrong Pantai Piwang

Malam itu, saya sudah janjian dengan seorang rekan untuk kepentingan liputan. Ia mengajak saya kongkow di Hari Dah Sore atau dikenal warga dengan sebutan HDS. Lokasinya berada di Jalan Soekarno-Hatta.

Menurut rekan saya itu, HDS menjadi tempat favorit warga Natuna saat sore hingga malam. Kafe tersebut bakal penuh ketika akhir pekan. Beruntung malam itu tak begitu ramai karena saya datang awal pekan.

Kafe ini terbilang besar, memiliki lokasi indoor dan outdoor. Tempat favorit tentu saja di luar ruangan, di bawah pohon rindang.




Pantai PiwangPantai Piwang. ( Indonesia/ Hamka Winovan)

Tempat kongkow ini memiliki banyak pilihan makanan dengan harga bersahabat. Dari kopi, es jeruk Pontianak, roti john, hingga nasi goreng.

Dari kafe tersebut, anda bisa menikmati suasan Pantai Piwang, yang membentang di tepian jalan utama Natuna. Pada malam hari banyak jajanan kaki lima di kawasan pantai tersebut. Rekan saya bilang ini lah pusat keramaian warga di Natuna.

Pantai Piwang seperti baru selesai dipercantik. Terdapat ruang terbuka hijau di kawasan tersebut. Berbagai macam sarana tersedia, seperti pelataran tempat interaksi, taman bermain anak, lapangan olahraga, hingga lampu hias, hingga miniatur bola dunia dengan tulisan “Natuna”.

Anda bisa menghabiskan sisa malam di tempat ini sembari menikmati suasan kota Ranai, sebelum kembali ke penginapan. Saya meminta sopir rental untuk menjemput di penginapan esok harinya.

Kota Tua Penagi

Untuk mengawali perjalanan di Natuna, saya memilih menyambangi Kota Tua Penagi. Sopir sudah menunggu sejak pukul 08.00 WIB. Namun, saya meminta untuk diantar lebih ke Kantor Bupati Natuna untuk wawancara.

Kantor Bupati Natuna berada di Jalan Batu Sisir, Bandarsyah, Bunguran Timur. Lokasinya terletak di perbuktian. Jarak tempuh dari pusat kota Ranai sekitar 15 menit.

Setelah selesai, baru saya melipir ke Kota Tua Penagi. Sopir saya, Amat mengatakan perkampungan tersebut terletak sebelum Pelabuhan Penagi dan selatan Bandara Ranai.

Amat berasal dari Depok, Jawa Barat. Ia baru sekitar 5 tahun merantau di Natuna bersama sang istri. Meski baru 5 tahun, logatnya sudah seperti warga lokal. Masyarakat Natuna sehari-hari memakai bahasa Melayu, namun sedikit berbeda dengan bahasa Melayu di Sumatera daratan.




Gunung Ranai menjadi latar belakang Kota Tua Penagi di Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. ANTARA FOTO/Aditya Pradana PutraGunung Ranai menjadi latar belakang Kota Tua Penagi di Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Untuk menuju ke Kota Tua Penagi anda akan melewati jalan yang berdiri di atas tepian pantai. Hutan bakau terhampar di sisi kiri jalan, sementara di kanan jalan merupakan sebuah muara yang langsung berhadapan dengan laut lepas.

Gapura bertuliskan “Kota Tua Penagi” menyambut di depan gang kawasan tersebut. Gapura tersebut seakan seperti pintu masuk. Hanya ada satu jalan berupa pelantar di kawasan ini. Rumah warga berdiri di sisi kanan dan kiri pelantar itu. Semua bangunan berupa rumah panggung yang berdiri di atas laut.

Saya berbincang dengan salah satu warga, Imam Basatar alias Ocu, yang sudah tinggal sekitar 36 tahun di kampung tersebut. Ocu merantau dari Pekanbaru ketika masih bujang.

Dahulu sebelum Indonesia merdeka, Penagi merupakan pusat perdagangan. Pelabuhan di kawasan ini menjadi pintu masuk Pulau Bunguran dan menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang dari berbagai negara.

Tak ayal, kampung ini menjadi pusat ekonomi Natuna beberapa dasawarsa. Muncul berbagai toko yang menjual bahan pokok, kelontong, kedai kopi. Gemerlap Penagi mulai redup ketika Natuna menjadi kabupaten pada 1999.




Kota Tua penagi bisa disebut pusat awal peradaban Natuna pada masa lalu. Terletak sekitar 7 km dari Ranai, kota tua ini dulunya adalah pusat transit para pedagang dari Asia Tenggara dan Asia Timur.  Indonesia/ Hamka WinovanGapura di Kota Tua Penagi. ( Indonesia/ Hamka Winovan)

Pusat perekonomian warga berpindah ke Ranai mulai 2004, yang berada di utara Penagi. Tersisa 150 kepala keluarga (kk) yang masih bertahan di perkampungan tersebut, salah satunya Ocu.

Ocu mengaku sudah betah tinggal di wilayah tersebut. Mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan buruh di Pelabuhan Penagi Baru. Ocu sendiri membuka warung kelontong.

Ada yang menarik di kawasan ini. Dua tempat ibadah berdiri berdampingan, Masjid Al-Mukarramah dan Kelenteng Pu Tek Chi. Kedua bangunan tersebut hanya dibatasi tembok. Tempat ibadah itu menjadi simbol toleransi beragama di Natuna.

Dua tempat ibadah itu, kata Ocu, sudah berdiri sejak sebelum dirinya menetap di Penagi. Menurutnya, tak pernah ada konflik antarpemeluk agama Islam dengan Konghucu di Penagi. Mereka hidup berdampingan dan saling menghormati kepercayaan masing-masing.

“Kalau di Penagi ini masyarakat muslim dengan masyarakat Konghucu aman, tidak ada apa-apa, akur saja,” ujarnya.

Tak perlu khawatir kelaparan jika anda pergi ke Kota Tua Penagi. Di sana terdapat warung makan Cak Kirun yang selalu ramai dikunjungi. Namun, saat itu warung tersebut sedang tutup.

Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya…

Sepekan ‘Terdampar’ di Natuna


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *