Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Jakarta, Indonesia —
Kata berani pantas disematkan untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mulai dari premis, penggambaran adegan, hingga akting para pemainnya mampu membuat saya terkesima dari awal hingga akhir.
Film garapan Edwin ini berani menghadirkan isu-isu sensitif yang masih belum banyak dibahas dalam film-film Indonesia. Mulai dari maskulinitas toksik, kekerasan seksual, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Semua mampu dikemas dengan apik dalam durasi 114 menit.
Ambil contoh soal maskulinitas toksik. Meski berlatar 1980 hingga 1990-an, konsep maskulinitas toksik yang digambarkan dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas nyatanya masih erat dengan kondisi saat ini.
Sejak awal diputar, film ini memperlihatkan dengan jelas stigma “pria harus selalu kuat”. Hal itu membuat pria yang memiliki kekurangan berusaha menutupinya dengan segala cara agar tetap terlihat jantan.
Sosok Ajo Kawir yang diperankan Marthino Lio menggambarkan hal tersebut. Dikenal sebagai jagoan tak kenal rasa takut dan kerap melakukan kekerasan, Ajo Kawir sebenarnya impoten. Sebuah ironi dan mimpi buruk bagi kaum Adam di mana pun.
Namun masalah “kejantanan” yang dimiliki Ajo Kawir sejatinya tidak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor.
>> SINOPSIS
Salah satunya adalah akibat respons tak manusiawi dari lingkungannya terhadap pengalamannya yang traumatis di masa lalu. Belum lagi stigma toksik soal kejantanan yang menuntut pria “tidak boleh lemah” atau harus “macho”.
Film ini juga mampu menjadi pengingat bahwa trauma apa pun yang dialami seorang anak tidak bisa dianggap sepele, karena akan berdampak hingga dewasa.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tidak hanya menyuguhkan isu maskulinitas toksik. Film ini juga mengangkat isu kekerasan seksual yang digambarkan dalam sosok Iteung (Ladya Cheryl).
Iteung yang memiliki trauma kala masih duduk di bangku sekolah akibat tindakan gurunya itu menjadikan ia tak bisa mengendalikan birahi kala dewasa. Belum lagi ia memiliki kemampuan bela diri yang menjadi pelampiasan emosi dirinya.
|
Melalui Iteung, film ini mendobrak stigma perempuan mesti selalu berperilaku lemah lembut dan tidak boleh berkelahi. Nyatanya Iteung tetap menjadi perempuan yang utuh, plus mampu bertarung.
Namun lebih dari itu, kasus Iteung menyentil situasi kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Topik yang tengah hangat dibahas dalam beberapa waktu terakhir.
Ajo Kawir dan Iteung adalah gambaran jelas bahwasanya kekerasan juga pelecehan seksual tidak memandang usia juga gender. Siapa pun mesti peduli akan hal ini, bahwa kekerasan juga pelecehan yang diterima siapa pun akan membekas sepanjang sisa hidup para korban.
Selain itu, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga menampilkan isu penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini tampak jelas dalam beberapa karakter dalam film ini.
Sebut saja karakter Paman Gembul yang dengan mudah bisa melenyapkan siapa saja yang tidak ia suka. Belum lagi sosok Rona Merah yang diperkosa oleh penguasa.
Sementara itu, Reza Rahadian berhasil membuat saya emosi dengan perannya sebagai Budi Baik yang perangainya beda 180 derajat dari namanya.
Budi Baik juga menjadi salah satu simbol toksik maskulinitas. Ia terlalu mengagungkan kejantanan dan menganggap daya tarik utama pria terletak pada alat kelaminnya.
Tak hanya itu, ia yang mengetahui masa lalu Iteung justru malah memanfaatkannya untuk memuaskan keinginan seksnya. Kisah pria bejat seperti ini sebenarnya banyak ditemukan dalam berita-berita kriminal.
Review film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas lanjut ke sebelah…
Review Film: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas