Sidang Bully PPDS Undip Bongkar Junior Ditugasi Bikin Jurnal Senior



Daftar Isi



Jakarta, Indonesia

Sidang pemeriksaan saksi-saksi kasus perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap sejumlah praktik kesewenang-wenangan senior, termasuk untuk urusan jurnal ilmiah dan menyediakan mobil.

Dalam sidang di PN Semarang pekan lalu, saksi yang merupakan junior di PPDS Anestesi mengaku ada kewajiban membayar pungutan bulanan hingga Rp20 juta per seorang residen.

Uang yang terkumpul untuk membiayai berbagai keperluan nonakademik, termasuk menggaji mahasiswa S1 yang dijuluki ‘helper’ untuk menyelesaikan tugas senior bikin jurnal.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu diungkapkan salah satu saksi yang merupakan rekan seangkatan almarhumah dokter Aulia Risma, dr. Herdaru dalam sidang di PN Semarang, Rabu (18/6) lalu. Dokter Aulia Risma adalah seorang mahasiswi PPDS Anestesi Undip yang bunuh diri diduga tak kuat lagi dengan perundungan senior di lingkungan akademis tersebut.





Helper dan Mafia untuk Jurnal

Dalam kesaksiannya, Herdaru mengungkap adanya ‘helper’ yang membantu tugas para residen untuk mengerjakan tugas senior.

“Kesepakatannya Rp 20 juta per orang tiap bulan. Kami ada 11 orang, jadi sekitar Rp 200 juta per bulan. Salah satunya untuk bayar ‘helper’ dan ‘mafia’,” kata Herdaru dalam kesaksian di depan majelis hakim PN Semarang, Rabu pekan lalu.

Herdaru mengatakan, para helper dan mafia bertugas menangani keperluan sehari-hari seperti membeli makanan, mencuci perlengkapan senior, hingga menyiapkan kendaraan operasional.

Para helper itu, kata saksi, juga melayani pembuatan jurnal dari senior di sana.

“Saya mencari jurnal permintaan dari angkatan 76. Jadi pihak ketiga itu kami istilah ‘mafia’, itu orang yang kita rekrut dan gaji untuk mengerjakan tugas dari senior. Kebanyakan yang masih S1. Itu junior jauh,” ujar dia.

“Karena kami satu angkatan punya link masing-masing. Akhirnya kita rekrut dan kita bayar dari uang kas kami,” sambungnya.

Transportasi dan cemilan

Tidak hanya itu, dia mengatakan urusan transportasi dan logistik untuk senior juga ditanggung oleh angkatan junior. Bahkan, sambungnya, termasuk bensin dan makanan ringan alias cemilan.

“Kalau senior butuh mobil, kami siapkan. Mobil harus full bensin, ada snack. Itu untuk DPJP [Dokter Penanggung Jawab Pasien] dan senior. Beda ya, DPJP punya perlakuan khusus juga,” ucap Herdaru.

Herdaru mengaku dirinya sempat cuti karena tidak sanggup mengikuti beban yang diterimanya. Namun, sambugnya, dia tetap diwajibkan membayar kas. Begitu pula yang dialami almarhumah Aulia Risma saat mengambil cuti.

“Tetap ditarik. Kalau saya enggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp 20 juta,” kata Herdaru.

Tugas tambahan nonakademik

Selain beban finansial, saksi juga mengungkap berbagai tugas domestik yang tak ada kaitannya dengan perkuliahan alias nonakademik yang dibebankan kepada mahasiswa baru.

“Semester pertama siang bertugas semacam kurir antar jemput. Misal ada sarapan, itu list dari pagi. Misal fotokopi, itu kegiatan rutin,” ujar Herdaru.

Ia juga mengatakan ada struktur organisasi internal dalam angkatan. Struktur nonformal itu untuk memenuhi kebutuhan senior itu lengkap dengan ketua, bendahara, seksi keilmuan, hingga seksi alat medis (insul). Semua itu untuk mengatur pembagian tugas antarsesama residen buat memenuhi kebutuhan senior.

Herdaru menambahkan, almarhumah Aulia sempat beberapa kali mengeluh soal beratnya tugas dan tekanan dari senior. Bahkan setelah sempat mengambil cuti karena saraf terjepit, Aulia pun masih menjalani pola pendidikan yang serupa saat kembali berkuliah.

“Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa enggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya enggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur,” jelasnya.

Instruksi menteri

Dia mengatakan perubahan ke arah lebih positif baru terjadi setelah muncul instruksi menteri (inmen) usai polemik soal ‘pasal anestesi’ yang viral di media sosial.

Instruksi yang muncul seiring terkuaknya kasus perundungan usai kematian Aulia Rahma itu mulai membuat perubahan sistem. Herdaru mengatakan Prodi kini merekrut helper resmi dan beberapa beban kerja residen semester awal mulai dikurangi.

“Kemudian off lagi kedua, baru saya masuk lagi, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau nggak salah,” katanya.

Diketahui, sidang kasus PPDS Undip telah dilaksanakan sejak Senin (26/5/2025). Dalam kasus itu yang menjadi terdakwa adalah Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp80 juta per mahasiswa. Keduanya didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus ‘kambing’ alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.

Baca berita lengkapnya di sini.

(kid/ugo)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *