Siswa Buleleng Tak Bisa-Lancar Baca Mayoritas Laki-Laki
Bali, Indonesia —
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng, Bali, mencatat sebanyak 363 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tidak lancar membaca (TLM) dan tidak bisa membaca (TBM), baik dari sekolah swasta maupun negeri di Kabupaten Buleleng.
Sekretaris Disdikpora Kabupaten Buleleng Ida Bagus Gde Surya Bharata mengatakan dari 363 siswa itu dibagi dua kategori yaitu sebanyak 155 siswa SMP masuk dalam kategori Tidak Bisa Membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori Tidak Lancar Membaca (TLM).
“Kalau data yang sudah kami kumpulkan dari berbagai sekolah yang dibawa kewenangan kita ada terdata 363 siswa. Kategori ada dua itu yang tidak lancar membaca dan tidak bisa membaca. Sebanyak 283 siswa laki-laki dan siswa perempuan 73 orang,” kata Bharata, saat dihubungi Rabu (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebutkan total seluruh siswa SMP di Kabupaten Buleleng sebanyak 34.062 orang.
“Jadi persentase-nya dari 34 ribu sekian siswa SMP di Buleleng yang kemampuan membaca rendah itu 0,011 persen,” imbuhnya.
Kemudian, ratusan pelajar itu tersebar di 60 sekolah SMP swasta dan negeri di Buleleng.
“Kurang lebih sekitar 60 sekolah. Jadi sebarannya tersebar di beberapa sekolah jadi tidak di satu sekolah dua dan tiga sekolah, itu tidak, ada beberapa saja,” jelasnya.
Sementara, penyebab ratusan siswa SMP tidak bisa membaca dengan lancar dan juga tidak bisa membaca, dari data presentase ialah kurangnya motivasi belajar itu 45 persen, pembelajaran tidak tuntas itu 5 persen, disleksia 19 persen, disabilitas 10 persen, dan kurang dukungan keluarga atau orang tua 21 persen.
“Untuk kategori yang kita kelas-kan itu ada yang disebabkan karena ke belum tuntasnya belajar juga ada, berikutnya faktor disleksia, sudah memang ada bawaan sejak lahir, ada keterlambatan, ada juga difabel ada juga yang istilahnya kondisi keluarga yang mempengaruhi juga dan ada juga dipengaruhi oleh faktor motivasi dari siswa itu sendiri,” ungkapnya.
“Ini sedang kita telusuri karena ada persepsi juga faktor motivasi rendah itu akibat inklusif itu. Mereka mungkin ada kebutuhan khusus tapi disandingkan dengan kebutuhan digitalisasi yang memudahkan untuk mereka melakukan aktivitas artinya terfasilitasi untuk aksi-aksi yang mereka lakukan. Kan itu berpengaruh juga untuk ketekunan atau keseriusan mereka untuk mengikuti pembelajaran. Karena di sekolah sempat kita diskusikan ada siswa diajak bicara atau disuruh membaca tidak bisa tetapi ketika disuruh mengetik dengan handphone bisa itu. Fenomenanya seperti itu, dan sekarang kita telusuri sambil membenahi yang sudah berjalan ini,” lanjutnya.
Ia mengatakan ada indikasi ratusan siswa itu juga tidak bisa menulis dan menghitung namun masih dilakukan verifikasi.
Sementara, untuk mengentaskan permasalahan tersebut, Disdikpora Kabupaten Buleleng, sudah memiliki sejumlah program selain program yang telah dibuat sekolah.
“Pertama untuk SMP, pimpinan sudah mengarahkan kita untuk melakukan pendampingan secara khusus selama enam bulan ke depan untuk para siswa, nanti akan dimonitor kurang lebih setiap bulan seperti apa progresnya,” ujarnya.
Kemudian, untuk mengantisipasi para siswa mengalami TBM dan TLM nanti, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) akan dilakukan pendataan apakah siswa-siswa itu sudah bisa membaca, menulis dan menghitung sebelum masuk ke tingkat SMP. Para guru akan diberikan pelatihan untuk soal tersebut.
“Ini kan mau tahun ajaran baru, kita melakukan pendataan kelas 4, 5 dan 6 (di SD). Kemudian kita akan (dorong) untuk bisa membaca. Nanti, kita akan memberikan pemahaman seperti itu atau pemahaman membaca ke mereka. Kemudian bapak dan ibu guru, diberikan pendampingan jika ada nanti peserta didiknya yang mengalami misalnya keterlambatan dalam hal mengenal huruf atau membaca itu sudah akan ada pelatihan untuk itu,” ujarnya.
“Kemudian untuk memastikan bahwa mereka memiliki misalnya kebutuhan khusus itu akan ada assessment melalui program layanan disabilitas. Nanti di sana, ada psikolog yang membantu memetakan tingkat potensi anak itu dan sejauh apa mereka bisa mengikuti pembelajaran. Dan saya rasa di kurikulum sudah menunjang hal itu, sehingga fase mereka disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang mereka miliki,” ujarnya.
(kdf/isn)