Jakarta, Indonesia —
Mei 1998 menjadi titik balik sejarah Indonesia. Setelah memimpin republik selama 32 tahun, Presiden ke-2 RI Soeharto akhirnya mundur. Sejak saat itu Orde Baru resmi tumbang digantikan era reformasi.
Soeharto mundur di tengah gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang memantik amarah rakyat. Gejolak yang awalnya dipicu oleh krisis ekonomi dan berujung kemerosotan legitimasi politik rezim Orde Baru Soeharto.
Krisis bermula di Thailand. Pertengahan 1997, Thailand mengalami krisis keuangan akibat membengkaknya utang valuta asing sektor swasta, sementara dolar AS terus menguat. Neraca transaksi berjalan mereka defisit. Krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah yang selama bertahun-tahun stabil antara Rp1.901 hingga Rp2.383 per dolar AS, tiba-tiba melemah tajam. Akibatnya, inflasi melonjak, harga-harga kebutuhan pokok melambung, dan barang-barang pokok mulai langka.
Soeharto yang telah lama berkuasa, mulai menyadari posisinya rapuh jika gagal menahan kemerosotan nilai rupiah.
Indonesia menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) pada Oktober 1997, sebesar US$43 miliar dengan salah satu syaratnya adalah menutup 16 bank swasta yang dianggap bermasalah.
Tapi resep IMF tak manjur.
Keputusan penutupan bank malah menambah kepanikan publik yang akhirnya melakukan penarikan dana secara besar-besaran dari bank. Inflasi tak bisa dikendalikan. Antrean panjang untuk sekadar membeli minyak goreng atau mengambil tabungan pun menjadi pemandangan sehari-hari.
Namun krisis ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab krisis tersebut. Ketegangan politik yang telah lama terpendam turut memanaskan suasana.
Perlawanan mahasiswa dan tragedi Trisakti
Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto selama 32 tahun dikenal membungkam oposisi, menjebloskan lawan politik ke penjara. Di tengah rezim otoriter itu, benih-benih perlawanan bawah tanah bergeliat, diinisiasi para pemuda dari kampus dan tokoh-tokoh oposisi nonpartai.
Organisasi-organisasi perlawanan yang awalnya bergerak di bawah tanah, mulai memberanikan diri muncul ke permukaan. Demonstrasi tak lagi tabu digelar.
Indonesianis asal Australia, Max Lane, dalam karyanya Unfinished Nation mencatat sejak Pemilu Mei 1997 hingga akhir tahun itu, tercatat 110 aksi protes mahasiswa. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Aksi-aksi protes, yang saat itu disebut sebagai ‘mimbar bebas,’ menyuarakan kritik terhadap kekerasan militer, dwifungsi ABRI, matinya parlemen, hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebar di berbagai lembaga negara. Isu reformasi semakin mengemuka.
Memasuki awal 1998, jumlah demonstrasi mahasiswa semakin tinggi. Tercatat 850 aksi dari Januari hingga Mei, dengan satu tuntutan utama, yakni lengsernya Soeharto. Bentrokan dengan militer terjadi di banyak kota, termasuk Solo, Yogyakarta, dan Medan.
Pada 2 Mei 1998, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, ribuan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan.
Demo besar 2 Mei bereskalasi jadi rangkaian demo yang kian besar dan meluas.
Pada 4 Mei, demonstrasi mahasiswa pecah di Medan, Bandung, Yogyakarta yang kemudian berujung kerusuhan dan bentrok dengan aparat. Keesokan hari terjadi kerusuhan di Medan yang berawal dari demonstrasi.
Titik didih kemarahan terjadi pada 12 Mei, ketika empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat keamanan yang mengawal unjuk rasa damai mahasiswa di halaman kampus tersebut.
Mereka yang menjadi martir reformasi adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie.
Suasana mencekam di Indonesia. Sementara Presiden Soeharto pergi menghadiri KTT G-15 Kairo di Mesir sejak 9 Mei 1998.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut kunjungan itu menjadi yang terakhir bagi Soeharto sebagai Presiden RI. Saat itu, Yusril adalah staf Sekretariat Negara sekaligus penulis pidato untuk Soeharto.
Kerusuhan Mei dan kekerasan etnis
Kerusuhan meletus di Jakarta dan daerah-daerah lain. Massa di Jakarta merangsek pertokoan, kantor, bank, melakukan penjarahan dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
Jakarta berubah menjadi kota yang penuh kekacauan. Asap hitam membubung dari toko-toko yang dijarah dan dibakar.
Kerusuhan menyapu 13 pasar, 40 pusat perbelanjaan, ribuan toko, serta tempat ibadah. Tak kurang dari 65 kantor bank dihancurkan, ribuan kendaraan dibakar, dan korban jiwa berjatuhan.
Sentimen etnis menyeruak. Warga etnis Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Tak sedikit dianiaya hingga tewas dan dibunuh.
Yusril menjelaskan pihaknya sempat memberikan pengarahan kepada aparat militer TNI (saat itu ABRI) agar menghindari jatuhnya korban jiwa.
“Ketika itu kami briefing TNI bahwa harus hati-hati betul, jangan sampai ada korban. Sebab kalau ada korban seperti tertembaknya Arif Rahman Hakim tahun 1966 di depan Istana, bisa memicu kerusuhan luas. Penembakan Arif Rahman saat itu punya andil dalam rangkaian peristiwa yang membuat Sukarno mundur,” ujar Yusril kepada Indonesia, Rabu malam (20/5/2015).
Pada 13 Mei atau saat kerusuhan besar terjadi di Jakarta, Panglima ABRI Jenderal Wiranto beserta sejumlah jenderal menghadiri peresmian Divisi Kostrad di Malang.
“Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto pun ketika itu ikut ke Malang,” ungkapnya.
Yusril mengaku absennya kekuatan militer di ibu kota membuatnya waswas.
“Saya waktu itu ngobrol sama Sjafrie Sjamsuddin (Pangdam Jaya). Bagaimana ini mengatasi situasi di Jakarta padahal tentara ke Malang semua,” katanya.
Saat itu, Soeharto pun belum kembali dari Mesir. Ditambah kondisi Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid yang sedang sakit, membuat situasi krisis semakin mencekam. Para jenderal dikabarkan baru kembali ke Jakarta pada malam harinya.
Kerusuhan yang pecah di tanah membuat Soeharto memangkas kunjungan luar negerinya.
Detik-detik Soeharto lengser
Soeharto tiba di Jakarta pada 15 Mei dan langsung memanggil Yusril beserta sembilan tokoh lainnya ke Istana. Para tokoh tersebut diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Direktur Yayasan Paramadina saat itu Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali Yafie, tokoh Muhammadiyah Malik Fadjar dan Sumarsono, Kiai Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, serta dua tokoh NU lainnya, Achmad Bagdja dan Ma’ruf Amin.
Pertemuan Soeharto dengan sepuluh tokoh itu berlangsung sekitar dua setengah jam, dimulai pukul 09.00 WIB hingga mendekati waktu zuhur. Setelah pertemuan, Soeharto mengumumkan rencana merombak susunan kabinet dan mengganti nama Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Ia juga berinisiatif membentuk Komite Reformasi. Menurut Yusril, kedua keputusan itu merupakan buah pemikiran Soeharto sendiri setelah berdiskusi dengan para tokoh tersebut.
Yusril beserta para tokoh lainnya menyarankan agar Soeharto mengundurkan diri demi meredakan krisis nasional.
“Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite ataupun kabinet yang direshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” ujar Cak Nur, seperti dikutip dalam Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner.
Penolakan itu juga datang dari mahasiswa. Bagi mereka, pembentukan Komite Reformasi dianggap pengalihan isu. Tuntutan mereka hanya satu: Soeharto harus mundur.
“Pak Harto sendiri waktu pulang dari Mesir ingin melakukan reformasi. Oleh karena itulah saya dan kawan-kawan dipanggil ke Istana. Saya bilang ketika itu: Bapak Soeharto harus segera mundur untuk memberi ketenangan pada semua orang,” ungkap Yusril.
Tiga hari sebelum pendudukan DPR/MPR, Ketua DPR/MPR Harmoko, yang sebelumnya dikenal loyal terhadap Soeharto, bertemu langsung dengan Soeharto di kediamannya di Cendana. Ia menyampaikan aspirasi rakyat yang mendesak Soeharto mundur.
“Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini,” ujar Soeharto, sebagaimana dikutip dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi karya BJ Habibie.
Kemudian, pada 18 Mei 1998, Harmoko bersama para pimpinan DPR secara terbuka menyampaikan bahwa semua fraksi, termasuk fraksi ABRI, meminta Soeharto melepaskan jabatannya.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko merespons tuntutan para mahasiswa.
Puncak eskalasi pun terjadi pada 19 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.
Upaya membentuk Kabinet Reformasi pun kandas. Sebanyak 14 menteri Kabinet Pembangunan VII, termasuk tokoh-tokoh seperti Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, dan Tanri Abeng, menolak bergabung.
Surat penolakan tersebut diterima Soeharto pada malam 20 Mei, lewat tangan Yusril Ihza Mahendra. Surat penolakan itu menjadi pukulan terakhir bagi Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Para pejabat senior di Kementerian Sekretaris Negara kemudian menggelar rapat untuk menyiapkan naskah dan mekanisme pengunduran diri Soeharto, meski tak dilakukan di depan MPR/DPR.
Dini hari pada 21 Mei, Soeharto melalui Yusril meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) Sarwata bin Kertotenoyo lengkap dengan pimpinan MA untuk datang ke Istana dengan membawa toga.
Pada jam 7 pagi, Istana riuh menyiapkan ruangan tempat Soeharto akan berpidato yang akan disaksikan oleh para anggota MA, pimpinan-pimpinan DPR, pejabat negara lainnya hingga para wartawan.
Pagi hari 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia tanpa adanya sidang istimewa, dan Komite Reformasi.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,” kata Soeharto kala itu.
Wakil Presiden BJ Habibie langsung diambil sumpah untuk menggantikannya.
Dari Gedung DPR/MPR, kampus-kampus, hingga Lapas Cipinang, sorak sorai terdengar membahana bahwa Indonesia memasuki era reformasi.
Presiden BJ Habibie segera menegaskan akan digelar pemilu sesegera mungkin. Ia juga mencabut sejumlah aturan hukum yang represif, mengawali langkah menuju sistem politik yang lebih terbuka.
Indonesia mulai memasuki babak baru keterbukaan politik. Aturan-aturan yang membatasi kebebasan sipil, mengancam hak asasi manusia, dan menghambat demokratisasi politik mulai dipreteli. Proses reformasi berjalan panjang, bahkan masih terus diperjuangkan sampai hari ini, 27 setelah Soeharto lengser.