Tabrakan LRT Cibubur, Pandangan Masinis Terganggu
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut tabrakan dua unit Light Rail Transit (LRT) di Cibubur, kereta TS 29 dan TS 20, Jakarta Timur pada 25 Oktober lalu terkait dengan pandangan mata masinis TS 29 yang terganggu.
Kepala Sub Komite Investigasi Kecelakaan Perkeretaapian KNKT, Suprapto mengatakan selama perjalanan TS 29 (kereta yang menabrak) sebagian penghalang matahari (sun visor) tertutup.
“Kami temukan juga bahwa selama perjalanan TS 29 menjelang tabrakan, posisi sun visor (penghalang matahari) itu tertutup sebagian, sehingga diperkirakan menghalangi pandangan masinis,” kata Suprapto dalam konferensi pers di Kantor KNKT, Jakarta Pusat, Senin (20/12).
Suprapto juga menyebut teknisi TS 29 belum sempat mengerem laju kereta dan tidak menekan tombol darurat. Berdasarkan simulasi yang dilakukan KNKT, kecepatan respons seorang teknisi adalah 3 detik. Sementara, standar kecepatan respons 2-6 detik.
Menurutnya, jika teknisi melakukan respons dalam waktu 3 detik maka ia dalam kondisi sehat. Jika tidak sehat, kata Suprapto, kecepatan respons bisa di atas 6 detik.
Suprapto menjelaskan peristiwa itu terjadi saat kereta TS 20 sedang dalam langsiran (pindah ke jalur lain) ke jalur 1 dari jalur 2 ditabrak rangkaian kereta TS 29. Peristiwa tabrakan, kata Suprapto, terjadi di jalur 1.
Saat itu, pihak operator LRT belum menerapkan sistem persinyalan otomatis sehingga langsiran kereta masih dilakukan secara manual.
“Belum diberlakukan sistem persinyalan otomatis. Jadi proses langsiran kereta masih dilakukan secara manual,” jelas Suprapto.
Berdasarkan investigasi, KNKT menemukan SOP yang mengatur bahwa batas kecepatan langsiran adalah 80 kilometer per jam. Kecepatan ini berlaku hingga masinis atau teknisi LRT melihat ada objek di depannya.
“Setelah terlihat objek maka si teknisi harus menurunkan kecepatan sampai pada batas 3 Km per jam, itu sesuai SOP,” kata Suprapto.
Suprapto juga menemukan terdapat rencana yang menyatakan kereta TS 29 berhenti di kilometer 12+800. Titik tersebut berada di belakang lokasi tabrakan kedua rangkaian kereta itu.
Menurut Suprapto sebenarnya TS 29 bisa berhenti pada jarak 245 meter dalam kecepatan 70 kilometer per jam dan jarak 260 meter sebelum objek membahayakan pada kecepatan 80 kilometer per jam. Hal ini dengan catatan kereta tersebut menggunakan emergency break.
“Di emergency brake ada pelat yang sangat menghalangi. Jadi EB tidak bisa dipakai pada saat terjadi kecelakaan,” ujarnya
Suprapto menyebut kecepatan TS 29 saat menabrak TS 20 berada si sekitar 50 kilometer per jam. Hal ini berdasarkan speedometer analog di TS 29 berhenti di angka 50. Hal ini karena saat tabrakan terjadi, listrik di kereta akan mati dan membuat analog kecepatan tersebut berhenti.
“Kalau pada saat kecepatan terakhir 50 sehingga tiba-tiba listrik mati karena tertabrak, maka diperkirakan dia kecepatan minimal 50 (km per jam),” tutur Suprapto.
Sementara itu, Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menyebut selama langsiran tersebut teknisi LRT berkomunikasi menggunakan Whatsapp Group dan tidak menggunakan HT.
Soerjanto kemudian merekomendasikan agar pihak operator LRT menggunakan sistem komunikasi standar. Di sisi lain, KNKT menilai penggunaan handphone mengganggu konsentrasi masinis.
“Kita juga merekomendasikan untuk memakai sistem komunikasi yang standar. Jadi tak akan mengganggu masinis. Kalau WA kan kadang-kadang harus melihat,” tuturnya.
(iam/DAL)