Tak Berani Usir, Lapor Tak Ditanggapi
Natuna, Indonesia —
Henri (47), duduk bersama para sejawat di salah satu kapal nelayan yang bersandar di dermaga Pelabuhan Teluk Baruk, Kabupaten Natuna, sore itu. Ia dan beberapa nelayan lain di kapal tersebut baru tiba sehari sebelumnya dari berlayar di tengah Laut Natuna.
Henry dan kawan-kawannya dikenal memiliki daya jelajah yang jauh, hingga ke ujung utara laut Natuna, dengan waktu berlayar lebih dari sepuluh hari. Sore itu, waktu Henri dan rekannya melepas lelah usai seminggu lebih di tengah laut.
Belasan bungkus rokok dan minuman kaleng berserak di geladak kapal. Siapapun boleh mengambilnya. Suara musik mengiringi obrolan lepas Henri dan kawan-kawannya yang baru menginjak daratan lagi.
Henri merupakan seorang tekong alias kapten kapal. Ia memiliki dua anak buah kapal (ABK). Kapalnya berada tak jauh, dipisahkan kapal lain, dari tempat mereka berkumpul.
Ukuran kapalnya tak sampai 10 GT. Meski kapalnya tak besar, daya jelajah Henri bisa lebih dari 800 mil laut. Ia menyusuri wilayah timur perairan Natuna, terus naik ke utara, dan kembali lagi ke Teluk Baruk.
Tak heran, Henri dan rekan-rekannya kerap melihat langsung keberadaan kapal asing di Laut Natuna Utara, baik kapal pencuri ikan hingga kapal-kapal besar berbendera China.
Henri yang baru tiba di darat minggu ketiga Oktober lalu itu masih melihat aktivitas kapal ikan Vietnam. Kali ini, ia hanya berlayar 9 hari karena cuaca tak bersahabat. Delapan hari, Henri dan dua anak buahnya terombang-ambing di laut lepas.
Mereka tak bisa bekerja karena angin kencang dan gelombang tinggi. Ia pun memutuskan pulang lebih awal dari rencana 12 hari berlayar. Alhasil tangkapan ikannya saat itu tak maksimal. Hanya ikan angoli satu kotak fiber, dengan berat sekitar 220 kilogram (kg), dan 100 kg ikan tongkol.
“Kalau (dibanding) ransum, masih tekor (rugi). Tapi enggak apa-apa,” katanya kepada Indonesia.com beberapa waktu lalu.
Sekali perjalanan ia membeli solar mencapai empat drum atau sekitar 800 liter. Jika harga solar per liter Rp5.150, Henri merogoh kocek sekitar Rp4 juta. Kemudian untuk perbekalan makan, es batu hingga pakan untuk mancing ikan mencapai Rp6 juta.
Untuk berlayar selama 12 hari, Henri mengeluarkan modal sampai Rp10 juta. Uang itu untuk membeli berbagai kebutuhan, mulai dari solar, es batu, umpan ikan, kebutuhan makan seperti beras, telur, mie instan, minyak goreng, minyak tanah, dan lainnya.
Menurutnya, ia harus bisa menangkap ikan sampai dua fiber jika ingin balik modal. Satu fiber berisi ikan angoli umumnya seharga Rp6 juta.
“Sekali keluar Rp10 juta, makannya sampe belasan hari, 12 hari. Kalau balik hanya bawa modal ransum, bagaimana mau (beli) rokok lagi,” ujarnya.
Ketika tangkapan bagus Henri bisa mendapat ikan 500 kg sampai 1 ton. Harga ikan angoli per kg saat ini mencapai Rp60 ribu untuk grade A. Ikan tangkapan tersebut dijual ke bos, kemudian diekspor ke Singapura dan Malaysia.
Hasilnya pun dibagi rata. Ia selaku tekong alias kapten kapal mendapat bagian awal 10 persen. Kemudian dipotong untuk perbekalan. Sisanya dibagi bersama dua ABK dan dirinya, serta untuk membayar kredit pompong. Penghasilan bersih Henri dalam 12 hari berlayar sekitar Rp5 juta.
“Kalau dibilang cukup, enggak cukup. Kalau untuk hidup di Natuna ini, kalau enggak masuk satu bulan Rp7 juta enggak cukup. Natuna ini berat, pulau memang kecil, tapi biaya agak tinggi,” katanya.
Persaingan Sengit di Tengah Laut
Minimnya hasil tangkapan ditengarai Henri tak lepas dari keberadaan kapal ikan asing yang masuk seperti dari Vietnam. Suatu waktu ia mengaku pernah melihat puluhan kapal Vietnam bersamaan menjaring ikan di ZEE Indonesia.
Kapal-kapal Vietnam ini selalu berlayar berpasangan. Mereka menggunakan alat tangkap trawl atau pukat hariamau. Dua kapal Vietnam ini akan menarik trawl itu secara bersamaan.
Keberadaan kapal Vietnam dengan alat trawl ini, kata Henri, berpengaruh pada hasil tangkapan. Ikan jadi cepat habis, sementara kebanyakan nelayan Natuna hanya memakai pancing ulur. Ia juga tak berani mendekat lantaran kapal-kapal ikan Vietnam jauh lebih besar dari kapalnya.
Selain kapal ikan Vietnam, Henri juga melihat kapal-kapal China. Berdasarkan laporan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), terdapat kapal riset Haiyang Dizhi 10 yang dikawal Coast Guard di ZEE Indonesia yang tumpang-tindih dengan klaim nine dash line China.
Keberadaan kapal riset Haiyang Dizhi10 terdeteksi IOJI sejak Agustus hingga akhir Oktober lalu. Henri juga mengaku melihatnya. Posisi kapal riset itu tak jauh dari Pulau Natuna, sekitar 80 mil laut dari bibir pantai. Kapal China tersebut terpantau mondar-mandir di perairan RI.
“Jumpa sih jumpa, cuma kami malas saja ambil videonya, masalahnya kan, ambil videonya pun, masuk ke media, enggak ada tindak lanjutnya,” kata Henri.
Henri dan nelayan lain sebenarnya malas berbicara soal aktivitas kapal asing di Laut Natuna Utara. Nelayan-nelayan ini merasa percuma bersuara tentang keberadaan kapal asing di wilayah Indonesia lantaran instansi terkait kerap mengabaikannya.
Beberapa nelayan bahkan khawatir bakal mendapat intimidasi jika menyampaikan fakta kapal ikan Vietnam dan kapal-kapal China di perairan Indonesia.
Henri memaklumi sikap rekan-rekannya itu. Ia juga malas bersuara terkait keberadaan kapal asing. Alasannya sama: pemerintah tak menindaklanjuti informasi keberadaan kapal asing.
Nelayan yang baru empat tahun ini melaut hingga utara ZEE Indonesia menyinggung rekannya yang sudah bersuara sejak awal 2020 dan hadir langsung dalam acara televisi swasta di Jakarta. Namun, hingga kini perairan Natuna tetap tak aman.
“Percuma aja. masalahnya kami ini kan, nelayan kecil enggak ditanggapi sama orang itu (pemerintah). Itu makannya percuma saja, enggak ada tanggapannya sama sekali,” kata Henri.
“Sakit hati saja sama instansi terkait ini kan, mereka punya anggaran tapi enggak maksimal patroli. Itu yang sakitnya, tapi kalau orang itu mau kerja sama, sama nelayan enak, aman di sini,” ujarnya menambahkan.
Nelayan Natuna: Usir Kapal Ikan Vietnam