Tolak Negara Bebas Kekerasan Seksual Bentuk Kemunduran Peradaban



Jakarta, Indonesia —

Pakar Hukum Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai pihak-pihak yang menolak upaya negara untuk bebas dari kekerasan seksual menunjukkan kemunduran peradaban.

Ia menganggap pihak-pihak yang menolak tidak melihat perempuan dan anak-anak yang masuk dalam kelompok rentan sebagai manusia utuh dan bermartabat.

“Saya kira penolakan terhadap penciptaan negara [yang] bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif. Jadi tidak memajukan peradaban bangsa, melainkan mundur ke masa-masa belum beradab,” tutur Bivitri dalam acara Pekan Progresif FH Universitas Diponegoro, Sabtu (13/10).

Belum lama ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi tanggal 31 Oktober 2021.

Setelahnya, muncul penolakan dari Ormas Islam dan Muhammadiyah yang berasumsi terbitnya Permendikbudristek tersebut sebagai bentuk legalisasi seks bebas. Pasalnya, dalam pasal 5 dijelaskan kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan ‘tanpa persetujuan’.

Tuduhan tersebut disangkal oleh Mendikbusristek dan berbagai pihak, termasuk Bivitri. Ia menjelaskan bahwa dalam kaca mata hukum, bentuk persetujuan menandakan garis batas pembeda antara kekerasan, pemaksaan, dan dilakukan secara sukarela.

“Misal saya meminjam buku, saya [harus] bilang dulu, boleh saya pinjam bukunya? Baru [kalau] orang itu memberi persetujuan boleh, maka saya pinjam bukunya. Tapi kalau tanpa persetujuannya saya ambil bukunya, apa yang saya lakukan? Itu pencurian,” terang Bivitri.

Menurutnya, konsep persetujuan dapat dipahami secara umum. Namun, muncul penolakan konsep persetujuan atau consent ketika membicarakan kasus kekerasan seksual.

Pasalnya, kekerasan seksual erat kaitannya dengan otoritas tubuh. Sementara itu, Bivitri memaparkan cara pandang yang digunakan kelompok-kelompok konservatif masih patriarkis. Tak ayal, mereka enggan melihat perempuan dan anak memiliki otoritas terhadap tubuhnya sendiri.

“Karena seringkali [perempuan dan anak] memang tidak dianggap sebagai manusia yang penuh,” tambah Bivitri.

Ia juga menjabarkan tuduhan legalisasi seks bebas yang dilontarkan terhadap Permendikbud. Menurutnya, tidak semua hal harus diatur dalam norma hukum yang koersif atau memaksa. Tidak mengatur seks bebas bukan berarti membolehkannya.

Sebab, banyak norma lain yang sudah mengatur hal tersebut dan bisa diselesaikan dengan sistem yang ada di masyarakat.

“Jadi norma hukum itu juga akan saling complimentary dengan norma agama, norma kesusilaan, kebudayaan. Tidak diatur bukan berarti dibolehkan,” ucap Bivitri.

(cfd/sfr)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *