Untung Rugi Ambang Batas Presiden yang Digugat Gatot Nurmantyo



Jakarta, Indonesia —

Sejumlah pihak memperdebatkan untung rugi penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dari Undang-Undang Pemilu. Wacana itu muncul setelah aturan tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa orang, termasuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana menilai penghapusan presidential threshold akan menguntungkan bagi demokrasi. Dia menyebut akan timbul keadilan di antara partai politik peserta pemilu.

“Ketika ambang batas dihapus, maka tidak ada pembedaan golongan antarparpol. Semua parpol ketika sudah ditetapkan peserta pemilu mereka punya hak sama untuk mengusulkan calon,” kata Ihsan saat dihubungi Indonesia.com, Kamis (16/12).

Ihsan mengatakan selama ini aturan tersebut membuat kasta partai politik. Kasta parpol terbagi tiga, yaitu parpol pemilik kursi di DPR, parpol pemilik suara di pemilu meski tak punya kursi DPR, dan parpol baru.

Dia menyebut parpol baru tidak bisa mencalonkan presiden karena belum punya perolehan suara ataupun kursi di DPR. Padahal, hak partai politik mengusung capres sudah dijamin dalam pasal 6A UUD 1945.

Selain itu, penghapusan presidential threshold dinilai akan memperbaiki sistem presidensial Indonesia. Ihsan berkata sistem ambang batas pencalonan presiden tidak sesuai dengan sistem tersebut.

“Sistem presidensial itu lembaga legislatif dan presiden itu sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat. Kalau ada pencalonan dengan tiket dan itu harus ada ambang batasnya, apalagi ambang batas itu sumber dari pemilu sebelumnya, itu sangat tidak sesuai,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari menilai penghapusan presidential threshold akan membuat kandidasi presiden lebih terbuka. Dengan demikian, pemilih punya pilihan lebih banyak.

Hal itu dinilai bisa mengakomodasi calon-calon berkualitas yang selama ini minim dukungan parpol. Selain itu, Feri menyebut hal ini bisa mengurangi keterbelahan di masyarakat.

“Bangunan konstitusi mensyaratkan terbukanya pasangan calon agar kemudian tidak terjadi polarisasi, ketajaman, dalam proses penyelenggaraan pemilu,” ucap Feri.

Di sisi lain, partai politik menolak gagasan penghapusan presidential threshold. Wakil Ketua Umum Golkar Nurul Arifinmenilai hal itu akan merugikan publik karena capres tidak mendapat pendidikan politik

Dia berpendapat presidential threshold menempatkan partai politik sebagai pendidik kandidat presiden. Selain itu, parpol juga berstatus sebagai penanggung jawab pencalonan seorang capres.

“Saya tidak bisa membayangkan seandainya ada seorang capres yang tidak muncul dari parpol. Nah, kemudian pendidikan politiknya didapat dari mana?” ungkap Nurul kepada Indonesia.com, Rabu (15/12).

Tiga pihak telah menggugat aturan presidential threshold yang tercantum dalam pasal 222 UU Pemilu. Gugatan dilayangkan Gatot, Ferry Juliantono, serta Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tiga gugatan yang dilayangkan meminta MK membatalkan pasal tersebut. Mereka beralasan presidential threshold tidak sesuai konstitusi, tidak sesuai prinsip adil pemilu, dan membatasi kandidat potensial untuk mencalonkan diri.

(dhf/gil)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *