Usul Gelar Pahlawan Soeharto Minim Partisipasi Publik




Jakarta, Indonesia

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menolak dalih Kementerian Sosial bahwa proses pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto telah dilakukan secara formal dan berdasarkan kajian akademik.

Koalisi yang menolak Soeharto dijadikan pahlawan nasional ini menyatakan klaim Kemensos bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

“Prosedur tersebut cenderung berlangsung secara tertutup, elitis, dan minim partisipasi publik yang luas dan bermakna,” ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya selaku perwakilan dari koalisi dalam siaran pers-nya dikutip Jumat (2/5).



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan tersebut sekaligus merespons pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang menyebut Soeharto berpeluang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Dimas mengungkapkan penolakan publik seperti dari GEMAS yang secara konsisten menyuarakan akuntabilitas kasus kejahatan hak asasi manusia (HAM) era Soeharto dan aktif menolak gelar pahlawan kepada Soeharto sejak awal reformasi, telah diabaikan.





Faktanya, terang dia, tidak pernah ada forum publik atau diskusi terbuka yang transparan, padahal Pasal 2 huruf h Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan menjelaskan pemberian Tanda Kehormatan harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas.

Dimas menuturkan pihaknya turut menyoroti proses pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh negara dalam beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan kecenderungan politis dan dilakukan secara tertutup, tanpa memperhatikan rekam jejak calon penerima yang bermasalah.

Pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tahun 2021 serta tanda kehormatan melalui pemberian pangkat istimewa Jenderal Kehormatan Bintang Empat kepada Prabowo Subianto menunjukkan preseden buruk dalam pemberian penghargaan negara tanpa basis akuntabilitas.

Bahkan, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor: 638 K/TUN/KI/2024 tanggal 15 Oktober 2024 telah menegaskan bahwa informasi terkait pemberian penghargaan kepada Eurico bukanlah informasi rahasia dan harus dibuka ke publik –yang hingga saat ini putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Kementerian Sekretariat Negara secara patuh.

Tidak hanya soal keterbukaannya, pada gugatan yang KontraS ajukan terhadap pemberian pangkat istimewa juga ditemukan praktik yang bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku-baik Undang-undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan maupun Undang-undang TNI –tidak ada dasar hukum yang mengatur kenaikan pangkat kehormatan bagi purnawirawan TNI seperti Prabowo, yang telah diberhentikan dari militer aktif sejak 1998.

“Kini, jangan biarkan preseden buruk tersebut dilanggengkan untuk memberikan gelar pahlawan nasional untuk ‘Sang Jenderal Jagal’,” ucap Dimas.

“Jika gelar pahlawan nasional benar-benar diberikan kepada Soeharto, maka itu akan menjadi bentuk legitimasi simbolik atas politik kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan rakyat,” sambungnya.

Sesuai Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan serta aturan pelaksanaanya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, gelar tersebut tidak hanya memberi hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi juga membawa hak finansial bagi ahli waris yang dananya bersumber dari APBN atau uang pajak rakyat.

“Artinya, pajak rakyat-termasuk yang dibayarkan oleh korban dan keluarga korban Orde Baru-akan digunakan untuk menghormati koruptor dan penjahat HAM sementara keluarga korban hidup tanpa keadilan dan ketidakpastian hukum,” kata Dimas.

Ia menegaskan negara tidak seharusnya memberikan pengakuan simbolik, politik, dan finansial kepada aktor-aktor yang telah terbukti menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia.

Kata dia, memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya bentuk pemutarbalikan sejarah, tetapi juga sebuah penghinaan terhadap perjuangan reformasi, nilai-nilai demokrasi, serta luka kolektif bangsa ini.

“Kita tidak bisa membiarkan sejarah dibengkokkan demi kepentingan politik elite semata dan selalu permisif terhadap kejahatan pelanggaran HAM di Indonesia,” ujar Dimas.

Dilansir dari laman change.org, Jumat (2/5) pukul 10.48 WIB, setidaknya sudah ada 5.645 yang menandatangani penolakan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Petisi tersebut dibuat oleh GEMAS.

Usul pemberian gelar terhadap Soeharto memicu pro dan kontra di ruang publik. Kelompok yang menolak meyakini Soeharto tak pantas menyandang gelar pahlawan nasional mengingat rekam jejaknya selama 32 tahun memimpin. 

Merespons hal tersebut, Putri mantan Presiden ke-2 Soeharto, Titiek Soeharto mengaku menyerahkan sepenuhnya keputusan status Soeharto kepada pemerintahan Prabowo Subianto.

“Alhamdulillah. Insyaallah itu kejadian,” kata Titiek di kompleks parlemen, Selasa (22/4).

Menurut Titiek, diangkat atau tidak, Soeharto akan tetap menjadi pahlawan bagi banyak orang. Dia menganggap Soeharto telah memberikan banyak jasanya kepada bangsa dan negara.

“Buat kami keluarga, diberi gelar atau tidak diberi gelar, Pak Harto adalah pahlawan buat kami dan saya yakin pahlawan buat berjuta-juta rakyat Indonesia yang mencintai beliau,” katanya.

(ryn/wis)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *