Warga Adat Toba Naik Kapal 3 Hari, Minta Jokowi Tutup PT TPL
Sebanyak 40 orang dari masyarakat adat Tano Batak dari Kabupaten Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, Sumatra Utara (Sumut) yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) berlayar selama tiga hari untuk sampai ke Jakarta.
Salah satu warga Tano Batak, Mersy Silalahi mengatakan, kedatangan mereka itu untuk menuntut Presiden Joko Widodo menutup segera PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan itu dianggap telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat adat.
“Menuntut Presiden Jokowi segera mencabut izin dan menutup PT. TPL seperti aspirasi dan tuntutan yang telah kami sampaikan sebelumnya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11).
Kedatangan 40 warga adat Tano Toba itu bukanlah yang pertama. Pada Agustus lalu, mereka bahkan sengaja jalan kaki dari Medan sampai ke Jakarta untuk menuntut hal yang sama.
Saat itu, kata Mersy, Jokowi berjanji akan menyelesaikan permasalahan itu kurang lebih dalam waktu satu bulan. Namun, sampai saat ini, tidak ada tindakan konkret dari janji tersebut. Ia dan puluhan warga adat pun terpaksa kembali ke Jakarta untuk menuntut.
“Di tengah masih belum berakhirnya pandemi corona dan pembatasan sosial di berbagai wilayah, kami terpaksa melakukan perjalanan panjang Medan-Jakarta ini,” kata dia.
“Kami melihat tidak ada komitmen dan keseriusan dari Jokowi untuk menyelesaikan konflik yang tengah kami hadapi selama puluhan tahun,” imbuhnya.
Mersy mengungkapkan, setelah Jokowi berjanji waktu itu, tindakan intimidasi dan teror masih terjadi.
Konsesi ilegal
Mersy mengatakan, jika mengacu pada UU Kehutanan, maka TPL jelas-jelas telah melanggar ketentuan hukum. Ia menyebut, TPL memiliki 141.537 hektare area konsesi illegal.
Ia berkata, ratusan ribu hektare itu berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), dan Area Penggunaan Lain (APL).
“Areal konsesi TPL merambah beberapa jenis kawasan hutan yang menurut kami sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum,” ujarnya.
Namun, kata dia, setelah diterbitkannya UU Citpa Kerja, pelanggaran yang dilakukan perusahaan tersebut bisa lolos dari hukum.
“Yang sungguh membuat kami kecewa, pasca disahkannya UU Cipta Kerja, pelanggaran berat oleh TPL ini justru lolos secara hukum.
Pada Mei lalu, masyarakat adat Batak terlibat bentrok dengan karyawan PT TPL di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Bentrok dipicu oleh rencana PT TPL yang hendak menanam eukaliptus di kawasan tanah adat Natumingka. Akibatnya, puluhan warga setempat mengalami luka-luka.
Di pihak lain, Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk Jandres Silalahi menjelaskan lokasi penanaman tersebut merupakan wilayah konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman ke-6 (enam).
Itu berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992.Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
(yul/DAL)