Yasonna Ungkap Kendala Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu



Jakarta, Indonesia —

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, mengungkapkan tantangan utama penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yudisial adalah terkait dengan aspek pembuktian.

Yasonna menyinggung peristiwa Tanjung Priok, Abepura, dan Timor Timur yang diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM, namun berujung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan.

Demikian disampaikan Yasonna saat mengisi acara webinar nasional ‘Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia’ yang diadakan oleh Universitas Pakuan, Bogor, Jumat (10/12).

“Ini menyebabkan reparasi terhadap korban tidak dapat dilakukan. Dapat digarisbawahi bahwa tantangan utama penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial adalah terkait aspek pembuktian, yang terjadi saat ini adalah terdapat fakta peristiwa, korban, dan kerugian, namun tidak dapat menghadirkan pelaku,” ujar Yasonna.

Menyikapi kesulitan penyelesaian melalui mekanisme yudisial, Yasonna menyebut saat ini pemerintah terus berupaya mencari jalan keluar terbaik untuk mengatasi hambatan.

Ia menyatakan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yudisial membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan kecermatan.

Hal itu bertujuan agar tidak lagi berakhir dengan dibebaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum karena kurangnya alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Kemenkopolhukam telah dan tetap memfasilitasi pertemuan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan RI untuk mencari titik temu guna dapat dilakukan penyelesaian secara yudisial,” terang dia.

Yasonna menambahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu juga dilakukan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Yasonna menjelaskan pihaknya saat ini tengah menyempurnakan naskah akademik RUU KKR sebagai tindak lanjut dari putusan MK atas dibatalkannya UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR.

“Maka, pembentukan RUU KKR selain harus memperhatikan pertimbangan hukum MK, juga diperlukan kearifan dan masukan dari berbagai pihak agar penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat dapat benar-benar selesai dan diterima oleh semua pihak,” imbuhnya.

Berdasarkan kesimpulan Komnas HAM, tercatat setidaknya ada 14 berkas kasus yang diduga masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Itu meliputi Peristiwa 1965/1966; Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Tanjung Priok (1984-1985); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999).

Lalu, Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis (1997-1998); Peristiwa Timor Timur (1999); Peristiwa Rumoh Geudong Pidie (1989-1998); dan Peristiwa Simpang KKA (1999).

Kemudian Peristiwa Abepura (7 Desember 2000); Peristiwa Wasior (2001) dan Wamena (2003); Peristiwa Jambu Keupok (2003); dan Peristiwa Paniai (2014).

(ryn/bmw)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *